Translate

Monday, October 8, 2012

'Bali Syndrome'


Menjamurnya usaha akomodasi yang tidak memikirkan tata ruang dan letak dapat menghancurkan daya tarik Bali, sebagai konsekuensi puncak kejayaan yang pernah dialami Bali. Perencanaan tata ruang yang mumpuni diperlukan agar menjadi lebih baik, terhindar dari kesan semrawut, sesuai dengan fungsi inti dari tempat tersebut. Bali syndrome merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu dengan  konsep membagi-bagi tata ruang fisik daerah  wisata di Bali, sesuai dengan karakteristik dari masing-masing daerah.
Tata ruang untuk wisatawan
Munculnya pariwisata massa yang menyebabkan migrasi besar-besaran yang bertujuan untuk rekreasi dan relaksasi, pemenuhan kebutuhan sebagai sarana akomodasi telah memberikan dasar terjadinya perubahan-perubahan atau pergeseran-pergeseran tata ruang yang berbeda dan tidak  sesuai dengan kondisi semula. Pariwisata juga telah memberikan stimulus untuk memproduksi atau mengkonstruksi ruang untuk mengakomodasi sarana sesuai dengan harapan dari wisatawan, sehingga banyak destinasi wisata yang amburadul akibat terlalu mengikuti keinginan pasar dan kurangnya perencanaan serta kontrol yang lemah
Pada awalnya desa-desa yang berada disekitar obyek wisata mampu mempertahankan budaya mereka, namun akibat keterlibatan mereka dalam kegiatan pariwisata tersebut maka menimbulkan efek yang dapat mengubah budaya masa lalu dari masyarakat setempat termasuk tata ruang yang ada disana. Pembangunan sarana akomodasi ternyata menyebabkan kemunduran dalam hubungan antara masyarakat setempat yang diakibatkan adanya kekecewaan, harapan dan kesalahpahaman serta tantangan dalam kehidupan sosial mereka.
Sindrom merupakan sebuah gejala penyakit, jika dikaitkan dengan artikel ini adalah tentang penyakit social, ekonomi dan lingkungan yang dialami oleh daerah tujuan wisata. Dimana  dalam persaingan pengembangan pariwisata  di daerah wisata sering  terjadi reorganisasi  terhadap tata ruang yang ada di daerah wisata. Salah satu contoh yang diangkat oleh Claudia Minca adalah tentang kekacauan tata ruang dalam mebagi-bagi atau mengelompokkan lokasi-lokasi daerah wisata agar tidak merusak keindahan daerah tersebut sebagai daya tarik wisata. Untuk itu akan dibeberkan sedikit masukan tentang pengaturan tata ruang yang lebih autocentric (memusatkan suatu sarana akomodasi yang sesuai dengan daya tarik wisatanya) dibandingkan heterocentric (yang membangun berbagai macam sarana akomodasi yang dapat merusak daerah wisata yang memiliki daya tarik tersendiri.
            Segmentasi yang lebih selektif dibutuhkan sebagai salah satu upaya penyelamatan daerah wisata itu sendiri. Segmentasi ini harus dapat menyesuaikan antara karakteristik daerah tujuan dengan karakteristik wisatawan yag dibidik agar tercipta sinkronisasi sehingga dapat mencegah dampak-dampak negatif. Contohnya bagi daerah yang ingin mengembangkan wisata spriritual. Seleksi pasar dibutuhkan agar memastikan wisatawan yang datang adalah mereka yang benar-benar paham tentang nilai-nilai sakral yang dimiliki oleh sebuah tempat suci. Sehingga tidak akan terjadi yang namanya pengrusakan, baik yang sengaja maupun tak disengaja. Karakter yang tepat, jumlah yang dibatasi dalam kelompok kecil dan dengan kontrol yang baik dengan sendirinya akan dapat membawa pelestarian, dan nilai-nilai kesucian sebuah tempat dapat dijaga. Kelompok besar, apalagi yang tidak memiliki karakteristik seperti yang dimiliki oleh daerah tujuannya cenderung tidak paham dan kurang mempedulikan kelestarian.  
            Jika tata ruang sudah dipikirkan terlebih dahulu sebelum membuat atau membangun sarana akomodasi untuk pengembangan pariwisata oleh pelaku wisata maka niscaya daerah tujuan wisata tersebut akan berkembang dengan baik tanpa merusak daya tarik atau nilai estetik dan eksotik dari tempat tersebut.
Ruang Pariwisata Bali
            Ruang Pariwisata di Bali yang disoroti oleh penulis adalah  daerah Kuta, baik itu pantai maupun  wilayah pemukimannya. Kuta yang terkenal dengan pantainya kini telah kehilangan pesona dan daya tarik wisatanya. Hal ini disebabkan karena tata ruang dari kuta sudah sangat berantakan. Kuta yang kini penuh dengan hingar bingar musik, penuh dengan kebisingan, memberi kesan bahwa pangsa pasar yang disasar adalah wisatawan yang berasal Dari kelas menengah kebawah yang hanya ingin mendapatkan fasilitas yang berharga murah dan mereka dapat bersenang-senang. Jadi kesan yang diberikan oleh pelaku wisata di kuta adalah mendapat pangsa pasar yang mampu memberikan pendapatan sebanyak mungkin tanpa memperhatikan nilai seni atau nilai eksotik dari daerah wisata tersebut. Hal senada juga dialami pada daerah pariwisata di Sanur dan Nusa Dua yang berkesan memberikan daya tarik wisata dengan harga yang mahal dan memiliki pangsa pasar yang berasal dari tingkat ekonomi menengah ke atas.  Sekian contoh tempat wisata yang ada di Bali ternyata tidak mampu mewakili apa yang menjadi daya tarik wisata dari masing-masing daerah wisata yang ada di Bali. Seperti  nilai seni dan tradisi yang dimiliki dari masing-masing wilayah yaitu: kerajinan perak di Celuk, Bona dengan seni kain tenun, Mas dengan patungnya, dan lain sebagainya.
            Pembangunan sarana akomodasi  yang timbul seiring perkembangan pariwisata di Bali  ternyata tidak memperhatikan tata ruang yang sesuai sehingga nilai eksotik yang dimiliki oleh masing-masing daerah mulai menghilang dengan dibangunnya hotel, resort, dan lain-lain. Hal ini akan menyebabkan daerah wisata tersebut lama-kelamaan akan kehilangan daya tarik wisatanya. Bila hal tersebut tidak segera ditangani maka apa yang digambarkan tentang Bali dalam brosur, iklan-iklan di internet menjadi suatu kebohongan semata sehingga mampu memunculkan kekecewaan yang dialami oleh wisatawan yang berkunjung ke Bali.
'Bali Syndrome' di Bali
            Bali sudah mengalami sindrom yang digambarkan oleh penulis. Bali yang merupakan suatu pulau kecil yang memiliki daya tarik wisata yang sangat beragam baik itu dari segi budaya, lingkungan maupun tatanan sosialnya. Daya tarik itulah yang menyebabkan terjadi perjalanan wisata besar-besaran menuju Bali maik wisatawan domestic maupun mancanegara. Kemudian mulailah berdatangan para investor yang memiliki tujuan mencari keuntungan memberikan bantuan dana untuk pembangunan tersebut. Sehingga terciptalah pembangunan-pembangunan yang tidak memperhatikan tata ruang yang baik demi keberlangsungan pariwisata Bali yang menitiberatkan pada budaya dan pemandangan alamnya yang eksotik  sebagai daya tarik  wisata. Saat ini banyak fenomena yang terjadi baik itu secara fisik berupa penggunaan lahan tanah pura yang dijual untuk bisnis penginapan sehingga nilai budayanya, dalam hal ini tingkat kesucian pura mulai memudar. Lahan-lahan pertanian (persawahan) sudah berubah menjadi lahan bangunan resort atau villa yang menjamur dimana-mana tanpa memperhatikan tingkat keberfungsian bangunan tersebut,Alih fungsi lahan tersebut tidak lepas dari ikut campur dari msayarakat local sebagai pemilik tanah dan pemerintah sebagai pemberi ijin mendirikan bangunan tersebut. Semua hal tersebut selalu berujung padatuntutan ekonomi yang dialami oleh masyarakat Bali tanpa memperhatikan dampak yang muncul.
            Secara tatanan social juga sudah mengalami perubahan dimana sudah ada pergeseran budaya akibat tata ruang wilayah pariwisata yang tidak matang. Salah satu contoh adalah apabila masyarakat yang tinggal di daerah obyek wisata akan menjadi orang yang lebih mampu secara ekonomi dbandingkan daerah yang tidak merupakan daerah tujuan wisata. Hal inilah yang menyebabkan terjadi perbedaan status social yang sangat tinggi antara yang kaya dan miskin. Selain itu pengembangan daerah wisata yang tidak merata menyebabkan banyak msayrakat di daerah pariwisata yang belum berkembang melakukan urbanisasi atau perpindahan untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka, yang akhirnya menambah tingkat kepadatan penduduk di kota.   Hal inilah yang menunjukkan bahwa Bali mengalami sindrom yang mengarah kepada eksplosion dan implosion dari tata ruang pariwisata yang tidak direncanakan.
Conclusions (Pemecahan)
            Pemecahan dititikberatkan pada pemetaan-pemetaan atau mengelompokkan wilayah-wilayah yang ada di Bali menjadi wilayah yang cukup matang dan kuat nilai-nilai eksotik yang ditawarkan tanpa menghilangkan unsur-unsur budaya yang dimiliki. Untuk daerah yang wisata yang sudah terlanjur bercampur dengan budaya luar yang telah beradaptasi disana maka dipetakanlah ruang-ruang tersebut sebagai daya tarik tersendiri. Seperti contoh Kuta yang sudah mulai kehilangan nilai –nilai eksotik dari pantainya karena menjamurnya hotel-hotel di pinggir pantai, dunia malam disana yang penuh dengan diskotik sehingga tidak tampak pemandangan Kuta yang aslinya. Dan daerah tersebut bisa dijadikan tempat wisata yang memiliki daya tarik yang berbeda dengan Bali pada aslinya.
            Tempat wisata lain yang belum mengalami pengembangan dan memiliki potensi untuk dikembangkan perlu direncanakan terlebih dahulu pengembangannya sehingga tidak merusak tata ruang yang ada disana dan tidak menghilangkan unsur-unsur  estetika dan eksotik dari wilayah tersebut.  Daerah tujuan wisata tersebut akan menjadi obyek wisata yang berkembang dengan baik sesuai dengan tata ruang yang telah dipetakan sehingga menjadi daerah wisata yang berkelanjutan.

No comments:

Post a Comment