Menjamurnya
usaha akomodasi yang tidak memikirkan tata
ruang dan letak dapat menghancurkan daya tarik Bali, sebagai konsekuensi puncak
kejayaan yang pernah dialami Bali . Perencanaan
tata ruang yang mumpuni diperlukan agar menjadi lebih baik, terhindar dari
kesan semrawut, sesuai dengan fungsi inti dari tempat tersebut. Bali syndrome
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu dengan konsep membagi-bagi tata ruang fisik
daerah wisata di Bali ,
sesuai dengan karakteristik dari masing-masing daerah.
Tata
ruang untuk wisatawan
Munculnya pariwisata massa yang menyebabkan
migrasi besar-besaran yang bertujuan untuk rekreasi dan relaksasi, pemenuhan
kebutuhan sebagai sarana akomodasi telah memberikan dasar terjadinya perubahan-perubahan
atau pergeseran-pergeseran tata ruang yang berbeda dan tidak sesuai dengan kondisi semula. Pariwisata juga
telah memberikan stimulus untuk memproduksi atau mengkonstruksi ruang untuk mengakomodasi
sarana sesuai dengan harapan dari wisatawan, sehingga banyak destinasi wisata
yang amburadul akibat terlalu mengikuti keinginan pasar dan kurangnya
perencanaan serta kontrol yang lemah
Pada awalnya desa-desa yang berada disekitar obyek wisata
mampu mempertahankan budaya mereka, namun akibat keterlibatan mereka dalam
kegiatan pariwisata tersebut maka menimbulkan efek yang dapat mengubah budaya
masa lalu dari masyarakat setempat termasuk tata ruang yang ada disana.
Pembangunan sarana akomodasi ternyata menyebabkan kemunduran dalam hubungan
antara masyarakat setempat yang diakibatkan adanya kekecewaan, harapan dan
kesalahpahaman serta tantangan dalam kehidupan sosial mereka.
Sindrom merupakan sebuah gejala
penyakit, jika dikaitkan dengan artikel ini adalah tentang penyakit social,
ekonomi dan lingkungan yang dialami oleh daerah tujuan wisata. Dimana dalam persaingan pengembangan pariwisata di daerah wisata sering terjadi reorganisasi terhadap tata ruang yang ada di daerah
wisata. Salah satu contoh yang diangkat oleh Claudia Minca adalah tentang
kekacauan tata ruang dalam mebagi-bagi atau mengelompokkan lokasi-lokasi daerah
wisata agar tidak merusak keindahan daerah tersebut sebagai daya tarik wisata.
Untuk itu akan dibeberkan sedikit masukan tentang pengaturan tata ruang yang
lebih autocentric (memusatkan suatu sarana akomodasi yang sesuai dengan
daya tarik wisatanya) dibandingkan heterocentric (yang membangun berbagai
macam sarana akomodasi yang dapat merusak daerah wisata yang memiliki daya
tarik tersendiri.
Segmentasi
yang lebih selektif dibutuhkan sebagai salah satu upaya penyelamatan daerah
wisata itu sendiri. Segmentasi ini harus dapat menyesuaikan antara karakteristik
daerah tujuan dengan karakteristik wisatawan yag dibidik agar tercipta
sinkronisasi sehingga dapat mencegah dampak-dampak negatif. Contohnya bagi
daerah yang ingin mengembangkan wisata spriritual. Seleksi pasar dibutuhkan
agar memastikan wisatawan yang datang adalah mereka yang benar-benar paham
tentang nilai-nilai sakral yang dimiliki oleh sebuah tempat suci. Sehingga
tidak akan terjadi yang namanya pengrusakan, baik yang sengaja maupun tak
disengaja. Karakter yang tepat, jumlah yang dibatasi dalam kelompok kecil dan
dengan kontrol yang baik dengan sendirinya akan dapat membawa pelestarian, dan
nilai-nilai kesucian sebuah tempat dapat dijaga. Kelompok besar, apalagi yang
tidak memiliki karakteristik seperti yang dimiliki oleh daerah tujuannya cenderung
tidak paham dan kurang mempedulikan kelestarian.
Jika
tata ruang sudah dipikirkan terlebih dahulu sebelum membuat atau membangun
sarana akomodasi untuk pengembangan pariwisata oleh pelaku wisata maka niscaya
daerah tujuan wisata tersebut akan berkembang dengan baik tanpa merusak daya
tarik atau nilai estetik dan eksotik dari tempat tersebut.
Ruang
Pariwisata Bali
Ruang
Pariwisata di Bali yang disoroti oleh penulis adalah daerah Kuta, baik itu pantai maupun wilayah pemukimannya. Kuta yang terkenal
dengan pantainya kini telah kehilangan pesona dan daya tarik wisatanya. Hal ini
disebabkan karena tata ruang dari kuta sudah sangat berantakan. Kuta yang kini
penuh dengan hingar bingar musik, penuh dengan kebisingan, memberi kesan bahwa
pangsa pasar yang disasar adalah wisatawan yang berasal Dari kelas menengah
kebawah yang hanya ingin mendapatkan fasilitas yang berharga murah dan mereka
dapat bersenang-senang. Jadi kesan yang diberikan oleh pelaku wisata di kuta
adalah mendapat pangsa pasar yang mampu memberikan pendapatan sebanyak mungkin
tanpa memperhatikan nilai seni atau nilai eksotik dari daerah wisata tersebut.
Hal senada juga dialami pada daerah pariwisata di Sanur dan Nusa Dua yang
berkesan memberikan daya tarik wisata dengan harga yang mahal dan memiliki
pangsa pasar yang berasal dari tingkat ekonomi menengah ke atas. Sekian contoh tempat wisata yang ada di Bali
ternyata tidak mampu mewakili apa yang menjadi daya tarik wisata dari
masing-masing daerah wisata yang ada di Bali .
Seperti nilai seni dan tradisi yang
dimiliki dari masing-masing wilayah yaitu: kerajinan perak di Celuk, Bona
dengan seni kain tenun, Mas dengan patungnya, dan lain sebagainya.
Pembangunan
sarana akomodasi yang timbul seiring perkembangan
pariwisata di Bali ternyata tidak memperhatikan tata ruang yang
sesuai sehingga nilai eksotik yang dimiliki oleh masing-masing daerah mulai
menghilang dengan dibangunnya hotel, resort, dan lain-lain. Hal ini akan
menyebabkan daerah wisata tersebut lama-kelamaan akan kehilangan daya tarik
wisatanya. Bila hal tersebut tidak segera ditangani maka apa yang digambarkan
tentang Bali dalam brosur, iklan-iklan di internet menjadi suatu kebohongan
semata sehingga mampu memunculkan kekecewaan yang dialami oleh wisatawan yang
berkunjung ke Bali .
'Bali
Syndrome' di Bali
Secara tatanan social juga sudah
mengalami perubahan dimana sudah ada pergeseran budaya akibat tata ruang
wilayah pariwisata yang tidak matang. Salah satu contoh adalah apabila masyarakat
yang tinggal di daerah obyek wisata akan menjadi orang yang lebih mampu secara
ekonomi dbandingkan daerah yang tidak merupakan daerah tujuan wisata. Hal
inilah yang menyebabkan terjadi perbedaan status social yang sangat tinggi
antara yang kaya dan miskin. Selain itu pengembangan daerah wisata yang tidak
merata menyebabkan banyak msayrakat di daerah pariwisata yang belum berkembang
melakukan urbanisasi atau perpindahan untuk memperbaiki kehidupan ekonomi
mereka, yang akhirnya menambah tingkat kepadatan penduduk di kota . Hal
inilah yang menunjukkan bahwa Bali mengalami
sindrom yang mengarah kepada eksplosion
dan implosion dari tata ruang pariwisata
yang tidak direncanakan.
Conclusions (Pemecahan)
Pemecahan
dititikberatkan pada pemetaan-pemetaan atau mengelompokkan wilayah-wilayah yang
ada di Bali menjadi wilayah yang cukup matang
dan kuat nilai-nilai eksotik yang ditawarkan tanpa menghilangkan unsur-unsur
budaya yang dimiliki. Untuk daerah yang wisata yang sudah terlanjur bercampur
dengan budaya luar yang telah beradaptasi disana maka dipetakanlah ruang-ruang
tersebut sebagai daya tarik tersendiri. Seperti contoh Kuta yang sudah mulai
kehilangan nilai –nilai eksotik dari pantainya karena menjamurnya hotel-hotel
di pinggir pantai, dunia malam disana yang penuh dengan diskotik sehingga tidak
tampak pemandangan Kuta yang aslinya. Dan daerah tersebut bisa dijadikan tempat
wisata yang memiliki daya tarik yang berbeda dengan Bali
pada aslinya.
Tempat
wisata lain yang belum mengalami pengembangan dan memiliki potensi untuk
dikembangkan perlu direncanakan terlebih dahulu pengembangannya sehingga tidak
merusak tata ruang yang ada disana dan tidak menghilangkan unsur-unsur estetika dan eksotik dari wilayah
tersebut. Daerah tujuan wisata tersebut
akan menjadi obyek wisata yang berkembang dengan baik sesuai dengan tata ruang
yang telah dipetakan sehingga menjadi daerah wisata yang berkelanjutan.
No comments:
Post a Comment